Rabu, 30 November 2016

Kesalahpahaman tentang Tujuan Filsafat



Perhatian utama para filsuf adalah bagaimana memahami permasalahan filsafat dan menemukan jawabannya, entah  apa pun manfaat praktisnya. Pada umumnya, paar filsuf setuju bahwa upaya mencari dan mencapai pengetahuan itu sendiri merupakan tujuan yang penting. Usaha menjawab pertanyaan semacam “Dalam arti apakah angka-angka itu ada?” jelas bukan usaha untuk mendapatkan sahabat , untuk mempengaruhi orang lain,  untuk mengentaskan kemiskinan, ataupun untuk mengembangkan tekbologi yang dapat menanggulangi polusi. Usaha itu semata-mata menggambarkan suatu hasrat untuk menyelidiki suatu permasalahan filsafat demi permsalahan itu sendiri.
Berfilsafat dapat dan memang memberikan manfaat “praktis” yang cukup luas dan berjangka panjang. Perbedaan di antara para filsuf terletak pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuan filsafat bagi bidang-bidang semisal kebahagian pribadi, tindakan pribadi, kemasyrakatan dan pendidikan. Untuk menilai konsekuensi-konsekuensi itu, terlebih dahulu kita harus memahami apa-apa yang tidak termasuk di dalamnya. Kita perlu meluruskan beberapa kesalahpahaman terhadap tujuan filsafat.
Kesalah pahaman tentang Tujuan Filsafat
Pertama, filsafat tidak bertujuan untuk bersaing dengan sains. Dua bidang ilmu hanya dapar bersaing jika onjek kedua bidang itu pada prinsionya sama. Persoalan–persoalan konseptual yang menjadi perhatian para filsuf berbedaq jenisnya dengan proses alam yang menjadi kajian para ilmuwan. Terlebih lagi, para ilmuwan berusaha menjelaskan fenomena alam, sementara para filsuf bukan saja tidak berkompeten, melainkan bahkan tidak pernah mencoba menjelaskan fenoma alam. Namun, dalam arti tertentu, tujuan sains dan filsafat mungkin dapat dikatakan bertumpang tindih juga, sejauh masing-masing mencoba mencari pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
Kedua, filsafat tidak bertujuan  untuk bersaing dengan teologi. Sama seperti para filsuf, para teolog juga mendukung pandangan yanh mereka lontarkan dengan pertimbangan rasional, dan sama-sama menglaji persoalan-persoalan nonempiris yang berada di luar jangkauan sains. Terlebih lagi, teologi telah mengalami lingkup dan tujuan teologi. Namun, filsafat dan teologi, meskipun dapat diperbandingkan, memiliki tujuan yang berbeda.
Teologi tradisional terbagi menjadi teologi wahyu (revealed theology) dan teologi kodrati (natural theology). Dalam teologi wahyu, akal berfungsi untuk menafsirkan dan mempertahankan dogma-dogma yang kebenaranya diterima berdasarkan iman. Dalam hal ini, tujuan teologi kodrati, keyakinan-keyakinan pokok, terutama yang berkenaan dengan eksistensi Allah, didukung dengan argument-argumen rasional, terlepas dari iman dan autoritas. Dalam hal ini, objek dan metode teologi kodrati sebagian berimpitan dengan filsafat. Para filsuf juga tertarik untuk memberikan pertimbangan, dukungan, atau kritik secara rasional terhadap argument-argumen mengenai eksistensi Allah. Namun, tujuan filsuf dan teolog berbeda.
Terakhir, bukan tujuan filsafat untuk secara aktif menganjurkan perubahan-perubahan, baik perubahan diri peribadi maupun perubahan sosial. Berlawanan dengan anggapan keliru yang ada di benka banyak orang hingga kini, para filsuf tidak medngantongi “rahasia jawaban” tentang apa seseungguhnya hidup ini. Dalam hal itu biasanya mereka tidak berpura-pura. Hampir semua guru filsafat pernahh dibuat terpaku oleh permintaan seperti “Anda seorang filsuf kan? Nah, katakana apa yang harus saya lakukan “ (bercerai, meninggalkan tugas jaga, ikut dalam gerakan revolusi, mencari resep pil KB untuk anak gadis saya yang berumur lima belas tahun, dan lain-lain). Tujuan filsafat tidak boleh dikacaukan dengan tujuan seorang menteri, politikus, psikoanalis, ataupun konselor pribadi.

Ilmu di Zaman Revolusi Modern



Menjelang abad ke-18, mulailah revolusi industri yang mentransformasikan Eropa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat perkotaan; pada akhir abad inilah terjadi Revolusi Perancis, pada saat man aide-ide politik modern dipraktekkan untuk pertama kali. Aktivitas ilmu mengalamai perubahan-perubahan yang serupa. 
Pada zaman ini, ilmu merupakan aktivitas yang dilakukan dalam skala yang sangat kecil, kebanyakan diupayakn oleh para gentlemen yang kaya atau oleh para professional terlatih, seprti fisikawan dan para insinyur, di waktu-waktu luang mereka.
v  Ilmu Selama Revolusi Indistri
Dalam transformasi industry Eropa yang bertahap namun mendalam, sumbangan langsung ilmu, pada mulanya kecil. Kebanyakan kemajuan awal berasal dari rasionalisasi teknik-teknik kerajinan dan penemuan-penemuan mesin sederhana untuk menggantikan penggarapan-penggarapan manual. Bahkan, bahan-bahan elementer dan pendekatan eksperimental yang berasal yang berasal dari buku-buku pegangan popular, mempunyai peranan penting. Teknologi daya (power technology), inilah yang pertama kali dipengaruhi oleh penerapan-penerapan ilmu. Ditemukannya mesin uap vakum di Inggris (tahun 1711) yang berasal dari Pneumatika abad ke-17, dan diperbaharui olehseorang insinyur Inggris, James watt sejak tahun 1763 san seterusnya, dipandang erat sekali kaitanya dengan perkembangan-perkembangan dalam teori pana (theory oh heat). Demikian pula indistri kimia yang dihasilakn oleh guru medis terkemuka Belanda, Hermann Boehaave dan para pengikutnya.
Sumbangan revolusi industry kepada ilmu, pertama-tama tidak langsung. Dalam rangka indutrialisasi daerah-daerah Inggris (Lowlands Scotland, Midlands dan Cornwall), dikembangkanlah suatu pertemuan resmi untuk hasil-hasil ilmiah. Filsuf pengusaha seperti Josiah Wedgwood, pengrajin tembikar dan pembaharu sosial, ebrgabung bersama para fisikawan untuk menupayakan penelitian, membentuk masayarakat-masyarakat setempat, dan mendukung para ilmuwan. Di penghujung abad itu, bukan hanya kuliah lepas tetapi juga publikasi jurnal-jurnal bagi para spesialis menguntungakan secara ekonomis. Di bagian Eropa kontinental, monarki-monarki yang lebih maju mendirikan perguruan-pergurunan tinggu teknik, baik industri, sipil ataupun militer; perguruan-perguruan tinggi ini memberikan latihan bagi para anggota baru yang potensial dan juga menyediakan pekerjaan-pekerjaan. Di Inggris, meskipun telah di mulai sejak awal dan diminati secara luas pelatihan lanjutan tetap tidak berkembang, padahal secara lokal, lembaga-lembaga yang di biayai dalam rangka untuk menciptakan pengrajin-pengrajin professional sedang menggejala pada periode ini dan periode-periode selanjutnya. Meskipun sebagian besar masalah yang muncul dalam praktek industry dan kedokteran di luar jangakauan teori-teori ilmiah pada masa itu, namun tidak diragukan bahwa harapan akan pemecahannya memunculkann suatu rangsangan dan audiens untuk meneliti, sehingga akhirnya membawa pada kemajuan ilmiah secara tidak langsung.

Filsafat Bukan Sekadar Latihan Semantik



Kadang-kadang dinyatakan bahhwa filsafat tidak lebih dari sekadar permainan kata-kata. Argumennya kira-kira sebagai berikut. Untuk mencapai langkah maju dalam berfilsafat, kita harus mampu memecahkan persoalan-persoalan tertentu yang belum terselesaikan. Solusi-solusi yang kita ajukan, pada gilirannya, mrnuntut kita mampu mendefinisikan kata-kata kunci yang menjadi gantungan persoalan-persoalan tersebut. Cepat atau lambat, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam “Apakah orang masih dapat hidup setelah tubuh fisiknya mati?” dan “Apakah pornografi merupakan salaahsatau bentuk seni yang sah?” akan sangat bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan “manusia” dan “bentuk seni:. Namun, filsuf-filsuf yang berbeda sering mendefinisikan kata-kata kunci tertentu dari masalah tertentu secara berbeda pula, biasanya dengan cara yang mendukung pandangan mereka sendiri. Jika sekelompok filsuf percaya bahwa manusia masih dapat hidup setelah tubuhnya mati, maka mereka akan mendefinisikan  “manusia” dengan cara yang mendukung kemungkinan tersebut. Manusia, kata mereka mislanya, pada hakikatnya adalah suatu entitas rohani yang berbeda dari tubuh fisik. Pada akhirnya, diskusi tentang imortalitas akan berujung pada penegasan bahwa suatu definisi tertentu tentang “manusia” adalah definisi yang memadai. Oleh karena itulah, para skeptic menyimpulkan bahwa agaknya kita tidak akan memperoleh kemajuan apa pun dalam memecahkan persoalan tersebut, demikian juga dengan persoalan-persoalan filsafat lainnya.  
Argumentasi itu didasarkan pada asumsi yang salah. Bagi mereka yang ingin melecehkan suatu diskusi filosofos dengan menyatakan, “Hal ini sepenuhnya tergantung pada bagaimana Anda mendefinisikan kata-kata kuncinya,” maka jawaban terbaik adalah “ Memang demikianlah halnya.” Namun, itu tidak berarti bahwa dengan demikian diskusi harus berakhir di sini. Sebaliknya, justru diskusi baru mulai, Andaikan ada dua definisi yang saling bertentangan, pertanyaannya adalah “Apa sajakah alasan yang bisa dikemukakan untuk lebih mendukung definisi ini dan bukan defines itu?” Definisi seseorang tidak selalu sama baiknya dengan definisi orang lain. Diskusi lebih lanjut harus menentukan mana yang lebih memadai.
Jika kita menyatakan bahwa langkah kita berakhir pada saat kita mengajukan definisi kita masing-masing, kita mengandaikan bahwa semua definisi bersifat sewenang-wenang atau stipulatif. Namun, sebagian besar definisi dalam filsafat bersifat reportif atau reformatif atau kedua-duanya. Dan kedua jenis definisi itu perlu di uji dengan metode-metode yang baik dan benar. Sebelum definisi-definisi tersebut diuji, kemungkinan untuk terus maju masih tetap terbuka, yang harus diputuskan oleh hasil diskusi. Maka, pandangan filsafat hanyalah latihan semantic semata ternyata gagal untukmmenjadi tantangan serius bagi gagasan mengenai langkah maju dalam berfilsafat.

Selasa, 15 November 2016

METODE MEMPELAJARI FILSAFAT



Dalam mempelajari filsafat kita memerlukan penjelasan mengenai cara mempelajari / memahami filsafat ini. Cara mempelajari filsafat Ada 3 macam metode mempelajari filsafat : metode sistematis, metode historis, dan metode kritis
1. Metode sistematis
Adalah cara mempelajari filsafat mengenai materi/masalah-masalah yang dibicarakannya. Sistematis disini artinya adanya susunan dan urutan (hierarki) juga kaitan suatu masalah dengan materi/masalah lain yang terdapat dalam filsafat Misalnya mula menghadapi teori pengetahuan dari beberapa cabang filsafat. Lalu mempelajari teori hakekat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Dengan belajar filsafat melalui metode ini perhatian kita terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada periode.
2. Metode historis
Metode historis adalah cara mempelajari filsafat berdasarkan urutan waktu, perkembangan pemikiran filsafat yang telah terjadi sejak kelahirannya sampai saat ini sepanjang dapat dicatat dan memenuhi syarat-syarat pencatatan serta pemikiran sejarah. Metode ini digunakan untuk mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya. Ini dapat dilakukan dengan membicarakan tokoh, riwayat hidup, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupun teori nilai.
Menurut Bertens (1976) sejarah perkebangan filsafat dibagi dalam 4 tahap yaitu :
a) zaman yunani kuno dari abad ke 6 SM sampai dengan 200 M.
b) zaman patristik dan pertengahan dari 200 sampai 1500 M.
c) zaman modern dari 1500 sampai 1800 dan
d) zaman baru sejak 1800.
3. Metode kritis
Digunakan untuk mempelajari filsafat tingkat intensif. Pelajaran filsafat pada tingkat sekolah pascasarjana sebaiknya menggunakan metode ini. Pengajaran dapat dilakukan dengan pendekatan sistematis, atau historis.
Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian mengajukan kritikan. Karena kritik itu mungkin dalam bentuk menentang, dapat juga berupa dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang dipelajari. Ia mengkritik mungkin dengan menggunakan pendapatnya sendiri ataupun pendapat orang lain. Jadi, jelas pengetahuan ala kadarnya, tatkala memulai pelajaran, amat diperlukan dalam belajar filsafat dengan metode ini. Selain metode diatas ada juga metode lain yaitu metode ihtisar yang secara ringkas mengemukakan inti dari berbagai aliran atau masalah filsafat yang pernah berkembang baik secara berurutan menurut waktu ataupun tidak.

Pokok Pikiran Immanuel Kant



Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya.
Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua alasan. Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara baru sama sekali. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Copernicus, yang mematahkan pandangan bahwa bumi adalah datar.
Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).
Tiga Pokok Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel Kant seorang filsuf termasyhur dari Jerman memiliki tiga pokok pemikiran yang harus diketahui terlebih dahulu, dikarenakan pemikirannya begitu original dan terlihat berbeda dari pemikiran para filsuf sebelumnya terutama berangkat dari filsuf Inggris bernama David Hume. Berikut ini pokok pemikirnnya:
1.         Panca indera, akal budi dan rasio. Kita sudah tahu tentang arti empirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis, namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budidan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur yaitu akal budi (Verstand), rasio (Vernunft) dan pengalaman inderawi.
2.         Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme. Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan a-priori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedankan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan Rubix Cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. Filsafat Kant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya.
3.         Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang Kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subjek) yang mengamati objek, tertuju pada objek, penelitian objek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa objeklah yang harus mengarahkan diri kepada subjek. Kant dapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah Filsafat Immanuel Kant pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari objek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat objek (subjek). Dengan ini tambah lagi salah satu fungsi filsafat yaitu membongkar pemikiran yang sudah dianggap mapan dan merekonstruksikannya kembali menjadi satu yang fresh, logis, dan berpengaruh.
           Pemikiran Kritisisme Immanuel Kant Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.           Apakah yang dapat kita ketahui?
2.           Apakah yang boleh kita lakukan?
3.           Sampai di manakah pengharapan kita?
4.           Apakah manusia itu?
v  Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.   Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjekdan bukan pada objek.
2.   Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3.   Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanesa priori  yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori  yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Selain beberapa hal terebut di atas Immanuel Kant terkenal dengan 12 Kategori Kant. Apa saja yang termasuk, berikut ini adalah 12 kategori Kant:
1.        Unitas
2.        Pluralitas
3.        Tolalitas
4.        Realitas
5.        Negasi
6.        Pembatasan
7.        Inheren dan Penghidupan (Substansi dan Aksiden)
8.        Kausalitas dan Ketergantungan ( Sebab dan Akibat)
9.        Pertukaran antara komunitas antara Agen dan Pasien
10.      Kemungkinan – kemustahilan
11.      Eksistensi dan Noneksistensi
12.      Pendelegasian kepentingan