Kadang-kadang dinyatakan bahhwa filsafat tidak lebih
dari sekadar permainan kata-kata. Argumennya kira-kira sebagai berikut. Untuk
mencapai langkah maju dalam berfilsafat, kita harus mampu memecahkan persoalan-persoalan
tertentu yang belum terselesaikan. Solusi-solusi yang kita ajukan, pada
gilirannya, mrnuntut kita mampu mendefinisikan kata-kata kunci yang menjadi
gantungan persoalan-persoalan tersebut. Cepat atau lambat, jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan semacam “Apakah orang masih dapat hidup setelah tubuh
fisiknya mati?” dan “Apakah pornografi merupakan salaahsatau bentuk seni yang
sah?” akan sangat bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan “manusia” dan
“bentuk seni:. Namun, filsuf-filsuf yang berbeda sering mendefinisikan
kata-kata kunci tertentu dari masalah tertentu secara berbeda pula, biasanya
dengan cara yang mendukung pandangan mereka sendiri. Jika sekelompok filsuf
percaya bahwa manusia masih dapat hidup setelah tubuhnya mati, maka mereka akan
mendefinisikan “manusia” dengan cara
yang mendukung kemungkinan tersebut. Manusia, kata mereka mislanya, pada
hakikatnya adalah suatu entitas rohani yang berbeda dari tubuh fisik. Pada
akhirnya, diskusi tentang imortalitas akan berujung pada penegasan bahwa suatu
definisi tertentu tentang “manusia” adalah definisi yang memadai. Oleh karena
itulah, para skeptic menyimpulkan bahwa agaknya kita tidak akan memperoleh
kemajuan apa pun dalam memecahkan persoalan tersebut, demikian juga dengan
persoalan-persoalan filsafat lainnya.
Argumentasi itu didasarkan pada asumsi yang salah.
Bagi mereka yang ingin melecehkan suatu diskusi filosofos dengan menyatakan,
“Hal ini sepenuhnya tergantung pada bagaimana Anda mendefinisikan kata-kata
kuncinya,” maka jawaban terbaik adalah “ Memang demikianlah halnya.” Namun, itu
tidak berarti bahwa dengan demikian diskusi harus berakhir di sini. Sebaliknya,
justru diskusi baru mulai, Andaikan ada dua definisi yang saling bertentangan,
pertanyaannya adalah “Apa sajakah alasan yang bisa dikemukakan untuk lebih
mendukung definisi ini dan bukan defines itu?” Definisi seseorang tidak selalu
sama baiknya dengan definisi orang lain. Diskusi lebih lanjut harus menentukan
mana yang lebih memadai.
Jika kita menyatakan bahwa langkah kita berakhir
pada saat kita mengajukan definisi kita masing-masing, kita mengandaikan bahwa
semua definisi bersifat sewenang-wenang atau stipulatif. Namun, sebagian besar
definisi dalam filsafat bersifat reportif atau reformatif atau kedua-duanya.
Dan kedua jenis definisi itu perlu di uji dengan metode-metode yang baik dan
benar. Sebelum definisi-definisi tersebut diuji, kemungkinan untuk terus maju
masih tetap terbuka, yang harus diputuskan oleh hasil diskusi. Maka, pandangan
filsafat hanyalah latihan semantic semata ternyata gagal untukmmenjadi
tantangan serius bagi gagasan mengenai langkah maju dalam berfilsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar