Wawasan
Comte terhadap konsekuensi agama yang menguntungkan dan ramalannya mengenai
tahap positif postreligius dalam evolusi manusia mengahadapkan dia pada masalah
rumit. Tidak seperti pemikir-pemikir radikal dan revolusioner semasa dia, Comte
menekankan perhatiannya pada keteraturan social. Dia kuatir bahwa anarki
intelektual dan social pada zamannya akan mengahancurkan basis untuk kemajuan
yang mantap. Begitu melihat sejarah, dia mengakui bahwa agama pada masa lampau
sudah menjadi satu tonggak keteraturan social yang yang utama. Agama merupakan
dasar untuk “consensus universal” dalam masyarakat, dan juga mendorong
identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruism. Akan tetapi, kalau
dilihat dalam perspektif ilmiah (atau positif), agama didasarkan pada
kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah berkembang pada saat-saat
awal perkembangan intelektual manusia. Lalu, pertanyaan rumit yang dihadapi
Comte adalah bagaimana keteraturan social itu dapat dipertahankan dalam
masyarakat positif pada masa yang akan datang, dengan salah satu dasar trasdisi
pokok mengenai keteraturan social yang digali oleh positivisme.
Dengan
agak sederhana, Comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam
tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan satu agama baru -agama Humanitas-
dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Ini aspek kedua dari perhatian Comte
mengenai keteraturan social yang sudah disinggung didepan. Aspek pertama
meliputi analisis objektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat,
sedangkan aspek kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan social yang
sudah disinggung didepan. Aspek pertama meliputi suatu analisis objektif
mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan aspek kedua ini
meliputi usaha meningkatkan keteraturan social dengan agama Humanitas sebagai
cita-cita normatifnya. Ini merupakan pokok permasalahan utama dalam bukunya yang
berjudul System of Positive Politics.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positivis dibawah bimbingan
moral agama Humanitas akin lama makin terperinci. Misalnya, dia menyusun satu
kalender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuan-ilmuan besar
dan lain-lain, yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Ada
beberapa ritus dan doa yang disusun untuk melahirkan hasrat-hasrat individu dan
memasukkannya kedalam the great being of humanity. Ada juga kultus
terhadap kewanitaan dengan dirayakannya perasaan-perasaan alturistik wanita.
Comte sendiri sebagai imam agungnya berlutut didepan altarnya sendiri (sebuah
kursi mewah) sambil memegang seikat rambut kepala Clothilde de vaux, dan dia
mengususlkan supaya kuburnya dijadikan tempat ziarah.
Hal-hal
yang terperinci ini memperlihatkan kepribadian Comte yang suka memaksa dan
otoriter. Akan tetepi, ingatlah bahwa dia melihat suasana social dan
intelektual pada masa hidupnya sebagai terancan anarki; dan seperti banyak kaum
intelektual lainnya dengan perspektif organic, dia benci dia takut akan anarki.
Juga seperti banyak kelompok konservatif lainnya, Comte mengagumi kesatuan dan
sintesis, serta keharmonisan social dan intelektual yang diketahuinya ada di
dunia abad pertengahan. Meskipun pandangan konservatif dalam sejarah abad pertengahan
adalah tidak murni karena mencerminkan kerinduan nostalgic akan masa lampau
yang harmonis dan untuk berarti, yang sebelumnya belum pernah ada, gambaran ini
merupakan perbandingan dengan kekacauan masa sekarang.
Menurut
Comte, ada 3 tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing tahap merupakan
perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap pertama dinamakannya tahap teologis
atau fiktif, yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala di
sekelilingnya secara teologis, yaitu dengan kekuatan-kekuatan yang dikendalikan
roh dewa-dewa atau Tuhan yang Maha Kuasa. Tahap kedua yang merupakan
perkembangan dari tahap pertama adalah metafisik. Pada tahap ini, manusia masih
terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi karena adanya kepercayaan bahwa setiap
cita cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk
menemukan hokum-hukum alam yang seragam. Hal inilah yang merupakan tugas ilmu
pengetahuan positif, dan merupakan tahap ketiga atau tahap terakhir dari
perkembangan manusia.
Apakah sebenarnya yang maksudkan oleh
Comte dengan ilmu pegetahuan positif, dimana letak letak sosiologinya? Menurut
Comte suatu ilmu pengetahuan bersifat positif, apabila ilmu pengetahuan
tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa
ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada
kemunginan untuk memberikan penilaian terhadap bernagai cabang ilmu pengetahuan
dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu
tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Hierarki atau tingkatan
ilmu-ilmu pengetahuan menurut tingkat pegurangan generasi dan penambahan
kompleksitasnya adalah : Metafisika, Astronomi, Fisika, Ilmu kimia, Biologi dan
Sosiologi.
Hal yang menonjol dari sistematika Comte adalah penilaiannya
terhadap sosiologi, yang merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks, dan
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang akan berkembang dengan pesat. Sosiologi
merupakan studi positif tentang hokum-hukum dasar dari gereja social. Comte
kemudian membedakan antara sosiologi statis dengan sosiologi dinamis.
Sosiologi statis memusatkan perhatian
pada hokum-hukum statis, yang menjadi dasar adanya masyarakat. Studi ini
merupakan semacam anatomi social, yang mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal
balik dari system-sistem social. Sosiologi dinamis merupakan teori tentang
perkembangan, dalam arti pembangunan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan
cara-cara pokok dalam hal terjadinya perkembangan manusia, dari tingkat
intelegensia yang rendah ke yang lebih tinggi.
Comte
mengahasilkan positivisme sebagai bagian dari berfikir filsafatnya yang
mendalam, yang kemudian dikaitkan dengan kehidupan masyarakat dengan situasi
politik saat itu. Kaitannya dengan positivisme yang dibangun oleh Comte yang
tidak terlepas dari situasi social bersangkutan, secara sistematis filsafatinya
manual banyak pujian dari para pemikir saat itu, meskipun akhirnya dengan karya
berikutnya yang melibatkan terlalu dalamnya perasaan, telah mengundang
pandangan miring, sehingga ada yang menganggap Comte telah gila. Adapun gagasan
positivisme Comte adalah sebagaimana diuraikan oleh Juhaya S. Pradja dalam
beberapa zaman dibawah ini.
Tulisannya gk rapi
BalasHapus