Suatu bangunan kurikulum memiliki empat
komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen
evaluasi, maka agar setiap komponen bisa menjalankan fungsinya secara tepat dan
bersinergi, maka perlu ditopang oleh sejumlah landasan yaitu landasan filosofis
sebagai landasan utama, masyarakat dan kebudayaan, individu (peserta didik),
dan teori-teori belajar (psikologis).
A. LANDASAN
FILOSOFIS
Landasan filosofis dalam pengembangan
kurikulum ialah pentingnya rumusan yang didapatkan dari hasil berpikir secara
mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina
dan mengembangkan kurikulum baik dalam bentuk kurikulum sebagai rencana
(tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan di sekolah.
a.
Filsafat
Pendidikan
Filsafat berupaya mengkaji berbagai
permasalahan yang dihadapai manusia,
termasuk masalah pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja
memerlukan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang, di antaranya filsafat. Filsafat
pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis
untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989),
terdapat tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam
pemikiran pendidikan pada umumnya dan pendidikan di Indonesia pada khususnya,
yaitu : filsafat idealisme, realisme dan filsafat fragmatisme.
b.
Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat pada awalnya
mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap persoalan ini berupaya untuk
menelusuri hakikat manusia, sehingga muncul beberapa asumsi tentang manusia.
Misalnya manusia adalah makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang
berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tersebut filsafat
mencoba menelaah tentang tiga pokok persoalan, yaitu hakikat benar-salah
(logika), hakikat baik-buruk (etika), dan hakikat indah-jelek (estetika). Oleh
karena itu maka ketiga pandangan tersebut sangat dibutuhkan dalam pendidikan.
Terutama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Artinya ke mana
pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan pandangan hidup
manusia atau tentang hidup dan eksistensinya.
Filsafat akan menentukan arah kemana
peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi
dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, filsafat
yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau bahkan
yang dianut oleh perorangan akan sangat mempengaruhi terhadap tujuan pendidikan
yang ingin dicapai.
Tujuan pendidikan nasional di Indonesia
tentu saja bersumber pada pandangan dan cara hidup manusia Indonesia, yakni
Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta
didik agar menjadi manusia yang berPancasila. Dengan kata lain, landasan dan
arah yang ingin diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia adalah yang sesuai
dengan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.
Sebagai implikasi dari nilai-nilai
filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional seperti terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003, yaitu :
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadimanusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
tersebut, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan
Pancasila.
Melalui rumusan tujuan pendidikan
nasional di atas, sudah jelas tergambar bahwa peserta didikyang ingin
dihasilkan oleh sistem pendidikan kita antara lain adalah untuk melahirkan
manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam kondisi yang serasi,
selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai pandangan hidup
manusia dalam hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.
c.
Manfaat
Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan pada dasarnya
adalah penerapan dari pemikiran-pemikiran filsafat untuk memecahkan permasalahn
pendidikan. Dengan demikian tentu saja bahwa filsafat memiliki manfaat dan
memberikan kontribusi yang besar terutama dalam memberikan kajian sistematis
berkenaan dengan kepentingan pendidikan. Menurut Nasution (1982)
mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
1) Filsafat pendidikan dapat menentukan arah
akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan di sekolah? Sekolah adalah
suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak ke arah yang
dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa dan negara.
2) Dengan adanya tujuan pendidikan yang
diwarnai oleh filsafat yang dianut, kita mendapat hambaran yang jelas tentang
hasil yang harus dicapai.
3)
Filsafat dan tujuan pendidikan
memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan.
4) Tujuan pendidikan memungkinkan si penduduk
menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai.
5)
Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi
kegiatan-lkegiatan pendidikan.
d.
Kurikulum
dan Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk
mencapai tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh
filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa, maka tentu saja kurikulum yang
dikembangkan juga akan mencerminkan falsafah/pandangan hidup yang dianut oleh
bangsa tersebut oleh karena itu terdapat hubungan yang sangat erat antara
kurikulum pendidikan di suatu negara dengan filsafat negara yang dianutnya.
Sebagai contoh, Indonesia pada masa penjajahan Belanda, kurikulum yang dianut
pada masa itu sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Demikian
pula pada saat negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum berpindah
yaitu disesuaikan dengan kepentingan dan sistem nilai yang dianut oleh negara
Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan secara
bulat dan utuh menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah dalam berbangsa
dan bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai
pancasila itu sendiri.
Pengembangan kurikulum walaupun pada
tahap awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, namun tidak
berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka
pengembangan, pembaharuan dan penyempurnaan disesuaikan dengan kebutuhan dan
tuntutan dan perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.
B. LANDASAN
PSIKOLOGIS
Penerapan landasan psikologi dalam
pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan dapat
menyesuaikan dari segi materi atau bahan yang harus disampaikan, penyesuaian
dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari
unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.
a.
Perkembangan Peserta Didik dan Kurikulum
Anak sejak dilahirkan sudah
memperlihatkan keunikan-keunikan, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk
tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa
sebenarnya sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Bagi
aliran yang sangat percaya dengan kondisi tersebut sering menganggap anak
sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. J.J.Rousseau, seorang ahli pendidikan bangsa
Perancis, termasuk yang fanatik berpandangan seperti itu. Dewasa dalam bentuk
kecil mengandung makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yang
diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan
bantuan untuk berkembang ke arah kedewasaan yang sempurna Rousseau memberi
tekanan kepada kebebasan berkembang secara mulus menjadi orang dewasa yang
diharapkan.
Pendapat lain mengatakan bahwa
perkembangan anak itu adalah hasil dari pengaruh lingkungan. Anak dianggap
sebagai kertas putih, di mana orang-orang di sekelilingnya dapat bebas menulis
kertas tersebut. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan di atas, di mana
justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya lebih banyak mempengaruhi
perkembangan anak menjadi individu yang dewasa. Pandangan ini sering disebut
teori Tabularasa dengan tokohnya yaitu John Locke.
Selain kedua pandangan tersebut,
terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa perkembangan anak itu merupakan hasil
perpaduan antara pembawaan dan lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat
manusia yang memiliki potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang
menjadi baik dan sempurna berkat pengaruh lingkungan. Aliran ini disebut aliran
konvergensi dengan tokohnya yaitu
William Stern. Pandangan yang terakhir
ini dikembangkan lagi oleh Havighurst dengan teorinya tentang tugas-tugas
perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yang dimaksud
adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai
dengan taraf/tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila
tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya
anak/individu tersebut akan mengalami masalah.
Melalui tugas-tugas ini, anak akan
berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana
menuju ke arah yang lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yang
dilakukan oleh Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih
perlu diteliti dan dikaji dengan cermat disesuaikan dengan anak-anak Indonesia
yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda. Pandangan tentang anak sebagai
makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan
disamping persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan
kurikulum yaitu :
1)
Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat,
minat dan kebutuhannya.
2)
Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang
wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan yang
sesuai dengan minat anak.
3)
Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga
menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat di
bidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan
berikutnya.
4)
Kurikulum memuat tujuan-tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap,
dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan
batin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang
anak terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai
berikut :
o
Tujuan
pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada
perubahan tingkah laku peserta didik.
o
Bahan/materi
yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan
tersebut mudah diterima oleh anak.
o
Strategi
belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
o
Media
yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
o
Sistem
evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyekuruh dan berkesinambungan dari
satu tahap ke tahap yang lainnya dan dijalankan secara terus menerus.
b.
Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar merupakan suatu
cabang bagaimana individu belajar. Belajar bisa diartikan sebagai perubahan
perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku baik yang
berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena
prosespengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar.
Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara insting atau terjadi karena
kematangan, atau perilaku yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk
belajar. Mengetahui tentang psikologi/teori belajar merupakan bekal bagi para
guru dalam tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.
Psikologi atau teori belajar yang
berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga rumpun, yaitu :
Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme, dan
Organismik atau kognitif Gestalt Field.
1)
Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak kelahirannya
anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties)
yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat,
daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan
masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih agar dapat
berfungsi dengan baik. Daya-daya yang telah terlatih dapat dipindahkan dalam
pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui
latihan (drill), karena itu pengertian mengajar menurut teori ini adalah
melatih peserta didik dalam daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya
melalui hapalan dan latihan.
2)
Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini mencakup tiga teori,
yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, dan teori
reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa
individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan
oleh lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat). Teori ini tidak mengakui
sesuatu yang sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang
dapat dilihat dan diamati. Teori Asosiasi adalah teori yang awal dari rumpun
Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk kepada hokum stimulus-respon
atau aksi-reaksi. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan
stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
3)
Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu pada pengertian bahwa
keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari
bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk organism yang melakukan
hubungan timbale balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini
dijalin oleh stimulus dan respon. Menurut teori ini, Stimulus yang hadir itu
diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya
dan seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran guru adalah sebagai
pembimbing bukan penyampai pengetahuan, siswa berperan sebagai pengelola bahan
pelajaran.
Belajar menurut teori ini bukanlah
menghapal akan tetapi memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai
adalah metoda ilmiah dengan cara anak dihadapkan pada berbagai permasalahan,
merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang diperlukan untuk
memecahkan masalah, menguji hipotesis yang telah dirumuskan, dan pada akhirnya
para siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan-kesimpulan. Teori ini banyak
mempengaruhi praktek pengajaran di sekolah karena memiliki prinsip sebagai
berikut :
Belajar berdasarkan keseluruhan
Belajar adalah pembentukan kepribadian
Belajar berkat pemahaman
Belajar berdasarkan Pengalaman
Belajar adalah suatu proses
perkembangan
Belajar adalah proses berkelanjutan
C. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis menyangkut
kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang dan
selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kekuatan itu dapat berupa
kekuatan yang nyata maupun yang potensial, yang berpengaruh dalam perkembangan
kebudayaan seirama dengan dinamika masyarakat.
1.
Perkembangan Peserta Didik dan Kurikulum
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang
penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1)
Individu lahir tak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita,
sikap, pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya.
2)
Kurikulum dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan refleksi dari
cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan.
3)
Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut
kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, karsa manusia yang
diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
•
Ide,
konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain.
•
Kegiatan,
yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat.
•
Benda
hasil karya manusia.
2.
Masyarakat dan Kurikulum
Mayarakat adalah suatu kelompok
individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok
berbeda. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan istilah masyarakat yang
mempunyai arti suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang
dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya.
Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yang
membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan.
Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran
seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan di
mana ia dibesarkan..
Perubahan sosial budaya dalam suatu
masyarakat akan mengubah pula kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat juga
dipenuhi oleh kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara
masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sebagian besar disebabkan oleh
kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi
lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap
individu-individu sebagai sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja
tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis
dan mengglobal.
Pengembangan kurikulum juga harus
ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya dengan
lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya yang
mencakup kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di
atas, sangatlah penting memperhatikan faktor kebutuhan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses
pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangan berupa kurikulum yang
landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.
D. LANDASAN
LAIN
1.
Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pendidikan merupakan usaha menyiapkan
subjek didik (siswa) menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang
semakin pesat. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa
yang akan datang. Teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan ilmiah dan
ilmu-ilmu lainnya untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Ilmu dan teknologi
tak dapat dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat
seiring lajunya perkembangan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan dan kemampuan-
kemampuan tersebut, maka ada hal-hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
1)
Pembangunan IPTEK harus berada dalam keseimbangan yang dinamis dan
efektif dengan pembinaan sumber daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana
iptek, pelaksanaan dan penelitian dan pengembangan serta rekayasa dan produksi
barang dan jasa.
2)
Pembangunan IPTEK tertuju pada peningkatan kualitas, yakni untuk
meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3)
Pembangunan IPTEK harus selaras (relevan) dengan nilai-nilai agama,
nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hidup.
4)
Pembangunan IPTEK harus berpijak pada upaya peningkatan produktivitas,
efesiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
5)
Pembangunan IPTEK berdasarkan pada asas pemanfaatannya yang memberikan
nilai tambah dan memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilaksanakan oleh berbagai pihak,
yakni:
1)
Pemerintah, yang mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK untuk menunjang
pembangunan dalam segala bidang.
2)
Masyarakat, yang memanfaatkan IPTEK itu pengembangan masyarakat dan
mengembangakannya secara swadaya.
3)
Akademisi terutama di lingkungan perguruan tinggi, mengembangkan IPTEK
untuk disumbangkan kepada pembangunan.
4)
Pengusaha, untuk meningkatkan produktivitas
Mengingat pendidikan merupakan upaya
menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin
pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.
Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan dengan
formulasi program-program sekolah pada waktu lampau yang masih hidup sampai
sekarang, atau yang pengaruhnya masih besar pada kurikulum saat ini (Johnson,
1968). Oleh karena kurikulum selalu perlu disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada
suatu saat tertentu diadakan untuk memenuhi tuntutan dan perkembangan pada
waktu tertentu.
Kurikulum yang dikembangkan pada saat
ini, perlu mempertimbangkan apa yang telah dilakukan dan apa yang telah kita
capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu pula selanjutnya, kita perlu
mempertimbangkan kurikulum yang yang ada sekarang waktu mengembangkan kurikulum
di masa depan, karena apa yang telah kita lakukan sekarang akan berpengaruh
terhadap kurikulum yang akan dikembangkan di masa depan.
3.
Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya adalah produk
yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI.
Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif yang mestinya mendasarkan pada konstitusi/UUD. Dengan demikian
landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini adalah UUD 1945 (pembukaan
alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan seperti: UU tentang
pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari
Menteri Pendidikan, Surat Keputusan dari Dirjen Dikti, peraturan-peraturan
daerah dan sebagainya.
Sumber
Dakir, H. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta
Hasan, Said Hamid. 2005. Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama
Sukamadinata, Nana Syaodih. 1997. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta. Penerbit Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar