1. Kebiasaan Belajar
Kebiasaan
belajar adalah segenap perilaku siswa yang ditujukan secara ajek dari waktu ke
waktu dalam rangka pelaksanaan belajar di sekolah. Perlu diperhatikan bahwa
kebiasaan belajar tidaklah sama dengan keterampilan belajar. Kebiasaan belajar
adalah perilaku seorang siswa untuk bertindak dari waktu ke waktu dalam cara
yang sama, sedangkan keterampilan belajar adalah sistem, metode atau teknik
yang telah dikuasai oleh siswa untuk melakukan
Dalam kegiatan
sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan
belajar tersebut antara lain:
(i)
Belajar
pada akhir semester;
(ii)
Belajar
tidak teratur;
(iii)
Menyianyiakan
kesempatan belajar;
(iv)
Bersekolah
hanya untuk bergengsi;
(v)
Datang
terlambat bergaya pemimpin;
(vi)
Bergaya
jantan seperti merokok, sok menggurui teman;
(vii)
Bergaya
minta “belas kasihan” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan
buruk tersebut dapat ditemukan di Sekolah yang ada di kota besar, kota kecil,
dan di pelosok tanah air. Untuk sebagian, kebiasaan belajar tersebut disebabkan
oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat
diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri. Suatu pepatah
“berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian” dan berbagai petunjuk oleh teladan,
dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya belajar. Pemberian penguat dalam
keberhasilan belajar dapat mengurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan
harga diri siswa (Dimyati:2009,246).
Setiap
siswa yang telah mengalami proses belajar kebiasaan-kebiasaannya akan tampak
berubah. Menurut Burghardt dalam Muhibbin Syah (2014:116), kebiasaan itu timbul
karena proses penyusutan kecenderungan karena respons dengan menggunakan
simulasi yang berulang-ulang. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan
perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah,
muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.
Kebiasaan
ini terjadi karena prosedur pembiasaan seperti dalam classical dan operant
conditioning. Contoh: siswa yang belajar bahasa secara berkali-kali
menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, akhirnya
akan terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Jadi, berbahasa
dengan cara yang baik dan benar itulah perwujudan perilaku blajar siswa tadi
(Syah:2014,117).
Kebiasaan
belajar baik dari segi cara belajar, waktu belajar, suasana belajar,
keteraturan belajar, dan lain-lain yang semua itu terbungkus menjadi gaya
belajar merupakan faktor penunjang keberhasilan belajar siswa. Selain itu
kebiasaan berpikir siswa saat belajar juga mendukung kemajuan hasil belajar.
Kebiasaan
belajar yang yang salah harus diperbaiki dan ditinggalkan, dan guru mencoba
mengembangkan kebiasaan belajar baru yang lebih bermakna. Untuk memperoleh
informasi mengenai kebiasaan belajar para siswa, guru dapat menggunakan teknik
observasi atau pengamatan terhadap cara belajar siswa, misalnya cara membaca
buku, mengerjakan tugas, menjawab pertanyaan, memecahkan masalah, dan cara
diskusi.
Setiap individu memiliki gaya belajar yang
berbeda-beda. Meski bersekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama, gaya
belajar setiap anak tidak pernah sama. Perbedaan itu bahkan ada pada anak-anak
satu keluarga, seperti beda dengan kakak, adik atau saudara kembar sekalipun.
Gaya belajar seseorang juga mempegaruhi pencapaian
hasil belajarnya. Belajar tanpa memperhatikan teknik dan faktor fisiologis,
psikologis, dan ilmu kesehatan, akan meperoleh hasil yang kurang memuaskan
(Dalyono:2005,57).
Contohnya saat mengikuti pelajaran di kelas, ada
murid yang begitu tekun menyimak meski si guru menyampaikan materi pelajaran
tak ubahnya seperti ceramah selama berjam-jam. Ada yang terkesan seperti
memperhatikan sepintas, meski sebetulnya mereka membuat catatan-catatan kecil
di bukunya. Namun jangan ditanya berapa anak yang merasa bosan dengan
pendekatan belajar yang menempatkan murid sebagai pendengar setia.
Secara keseluruhan, ada anak yang lebih mudah
menangkap isi pelajaran disertai dengan praktek. Siswa seperti ini lebih suka
berkutat di laboratorium mengamati dan mempelajari berbagai hal nyata daripada
mendengar penjelasan guru. Sedangkan temannya yang lain mungkin lebih tertarik
mengikuti pelajaran yang disertai berbagai aspek gerak. Contohnya guru yang menerangkan
pelajaran kesenian sambil sesekali diselingi nyanyian dan tepuk tangan.
Tidak hanya itu, ada anak yang harus menyendiri
dan tutup pintu kamar rapat-rapat supaya bisa berkonsentrasi belajar. Akan
tetapi cukup banyak yang mengaku justru terbuka pikirannya bila belajar sambil
mendengar musik. Sementara sebagian lainnya merasa perlu mengubah materi
pelajaran menjadi komik atau coret-coret yang mudah dibaca.
Apapun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama, yaitu agar yang bersangkutan dapat menangkap materi
pelajaran sebaik-baiknya dan mendapat hasil optimal. Bukankah masing-masing
pelajaran juga disampaikan oleh orang yang berbeda dengan karakter mengajar
yang berbeda pula.
Oleh karena itu, peran orangtua dalam mengamati
gaya belajar anak-anaknya adalah hal yang sangat penting. Buktinya,
ketidakpahaman orang tua dan guru terhadap gaya belajar anak kerap menimbulkan
kesalahapahaman. Ada guru yang tidak senang melihat anak muridnya asyik membuat
coretan-coretan saat di kelas. Atau ada guru yang langsung menegur anak yang
terlihat tak bisa diam saat belajar. Padahal, perilaku membuat coretan saat
belajar bukan berarti enggan belajar. Bisa jadi, ia justru tengah berusaha
menangkap materi pelajaran lewat coretannya tadi.
Menurut
Uno (2008:181), ada beberapa tipe belajar yang bisa kita cermati dan mungkin
kita ikuti apabila memang merasa cocok dengan gaya itu.
1. Visual Lerner
Gaya belajar visual (visual learner) menitikberatkan
ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan
terlebih dahulu agar si anak paham. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar
visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi
secara visual sebelum ia memahami.
Konkretnya yang bersangkutan lebih
mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, ia memiliki
kepekaan terhadap warna, di samping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap
masalah artistik. Hanya saja biasanya ia memiliki kendala untuk berdialog
langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti
anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Untuk mendukung gaya belajar ini,
ada beberapa pendekatan yang dapat dipakai. Caranya, gunakan beragam grafis
untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran. Perangkat grafis tersebut
dapat berupa fil, slide, ilustrasi, coretan atau kartu-kartu gambar berseri
yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan.
2. Auditory Learner
Gaya belajar ini mengandalakan
pendengaran untuk dapat memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model
belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk
menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk dapat mengingat dan
memahami informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah mendengarnya terlebih
dahulu. Mereka yang memiliki gaya belajar ini umumnya susah menyerap secara
langsung informasi tertulis, selain memiliki kesulitan menulis atau membaca.
Untuk
membantu anak-anak seperti ini, orangtua dapat membekali anaknya dengan tape untuk merekam semua materi yang
diajarkan di sekolah. Selain itu, keterlibatan anak dalam diskusi juga sangat
cocok untuk anak seperti ini. Bantuan lain yang dapat diberikan adalah mencoba
membacakan informasi, kemudian meringkasnya dalam bentuk lisan dan direkam
untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami. Langkah terakhir adalah
melakukan interview secara verbal dengan teman atau pengajar.
3.
Kinesthetic/Tactual Learners
Gaya belajar ini mengaharuskan
individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu
agar dapat mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar
seperti ini yang tak semua orang dapat melakukannya.
Karakter pertama adalah menempatkan
tangan sebagai alat penerima informasi utama agar dapat terus mengingatnya.
Hanya dengan memeganya saja seseorang yang memiliki gaya belajar ini dapat
menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya.
Karakter berikutnya dicontohkan
sebagai orang yang tak tahan duduk berlama-lama mendengarkan penyampaian
pelajaran. Tak heran bila individu yang
memiliki gaya belajar seperti ini merasa bisa belajar lebih baik bila prosesnya
disertai dengan kegiatan fisik.
Kelebihannya, mereka memiliki
kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim disamping kemampuan mengendalikan gerak tubuh
(athletic ability). Tak jarang, orang
yang cenderung memiliki karakter ini lebih mudah menyerap informasi dengan cara
menjiplak gambar atau kata untuk kemudian belajar mengucapkannya atau memahami
fakta.
Pengertian
berpikir:
a.
Psikologi asosiasi mengemukakan bahwa
berpikir adalah jalannya tanggapan-tanggapan yang dikuasai oleh haluan
asosiasi. Yang terpenting menurut aliran ini adalah terjadinya, tersimpannya,
dan bekerjanya tanggapan-tanggapan.
b.
Aliran behaviorisme berpendapat bahwa berpikir
adalah gerakan-gerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot
bicara sama halnya saat kita berbicara. Jadi menurut aliran ini berpikir sama
dengan berbicara. Jika pada psikologi asosiasi unsur terpenting adalah
tanggapan-tanggapan, sedangkan pada aliran behaviorisme ini unsur terpentingnya
adalah refleks. Refleks adalah reaksi tak sadar yang disebabkan adanya
perangsang dari luar.
c.
Psikologi Gestalt mengemukakan bahwa
berfikir merupakan keaktifan psikis yang abstrak yang prosesnya tidak dapat
diamati dengan menggunakan alat panca indera.
Tujuan berpikir adalah untuk memperoleh problem solving sesuai dengan masalah
yang kita hadapi. Kebiasaan berpikir positif berperan penting dalam
pengembangan kepribadian yaitu rasa percaya diri. Berpikir positif tentang
dirinya berarti melatih dirinya untuk memiliki rasa percaya diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar