Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan
maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang
penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama
sekali.
Seorang
fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka,
agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst”
(kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl
adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.
Bagi
Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”.
Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara
menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.Untuk
itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata
epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda
kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar