Jumat, 09 Desember 2016

Penilaian Teori Perry dan Alternatif-nya



Asumsi dari teori Perry membutuhkan justifikasi dan penilaian kritis. Karena sesuai survei terhadap teori Perry ini berfungsi untuk menempatkan teori Perry dalam konteks yang lebih luas.
Dengan menggunakan dasar teoriPiaget pada penilaian moral anak, Kohlberg (1969) mengembangkan hierarki perkembangan moral. Heirarki ini memiliki tiga tingkatan: pra-konvensional (moralitas egosentris), konvensional (penilaian moral tergantung pada norma-norma konvensional), dan pasca-konvensionalsertaberprinsip (keputusan moral didasarkan pada prinsip-prinsip yang universal). Dua tingkat terakhir memiliki keterkaitan dengan Dualisme dan relativisme. Namun, tidak diragukan lagi teori Perry dipengaruhi oleh teori Kohlberg. Teori perkembangan moralini tidak mengindahkan terhadap perkembangan epistemologis. Maka, hal tersebut  dikritik oleh Gilligan (1982) atas penekanannya pada aspek-aspek etika terpisah (antara aturan dan keadilan) dengan menyepelekan nilai-nilai.
Teori ini kemudian tidak memberikan alternatif untuk teori Perry karena dua alasan. Pertama, teori tersebut tidakmengindahkan intelektual serta perkembangan moral. Kedua, teori tersebut hanya mengangkat satu nilai di atas nilai lainnya daripada membiarkannya sebagai variasi nilai.Loevinger (1976) mengusulkan teori ‘perkembangan ego’ dengan enam tahapan yang menunjukkan beberapa keterkaitan dengan teori Kohlberg (masing-masing dari tiga tingkatnya terdiri dari dua tahap, seperti dalam teori Kohlberg). Teori Loevinger telah diaplikasikan terhadap perspektif epistemologis dan etika guruoleh Cummings dan Murray (1989). Para peneliti ini mengartikan pandangan guru tentang sifat pengetahuan (serta tujuan pendidikan, dll) dalam tiga tahap terakhir (konformis, teliti, otonom). Pendekatan mereka menawarkan beberapa keterkaitan dengan teori Perry, tetapi dengan dorongan yang lebih besar, dalam lingkup keyakinan individu. Jadi teori Loevinge memiliki potensi sebagai alat untuk menggolongkan perkembangan intelektual dan etika. Namun, kesesuaiannya dengan epistemologi kurang diartikulasikan dengan baik dibandingkan teori Perry. Pengetahuan dianggap istilah,kegunaan, dan sumber bukan dipandang dari dasar, struktur dan statusnya. Oleh karenanya teori ini kurang mampu mencakup filsafat matematika dan dengan demikian kurang cocok untuk studi ini. Tidak mengherankan, dalam hal tujuan teori tersebut, pandangan ini menawarkan lebih ke tipologi perkembangan ego dari pada analisis struktural dari teori atau sistem kepercayaan.
Kitchener dan King (1981) memiliki teori perkembangan penilaian reflektif. Hal ini mencakup baik tingkat perkembangan intelektual dan etika, maupun kriteria untuk mengevaluasi penggunaannya dalam tindakan. Hal tersebut membuatnya menjadi instrumen yang berharga dalam penelitian empiris. Namun selain kelebihan tersebut, teori ini menawarkan tidak lebih dari yang ditawarkan model Perry, relatif sama seperti tujuan saat ini. Teori ini juga tampaknya lebih tepat diterapkan untuk remaja daripada terhadap perkembangan seumur hidup, untuk tingkat tertinggi mencakup kemampuan untuk membuat penilaian obyektif berdasarkan bukti. Tingkat perkembangan yang lebih tinggi pada Teori Perry memungkinkan perkembangan substansial yang lebih daripada yang ditawarkan oleh skema Kitchener dan King. Sehingga tidak ada alasan untuk mengadopsi skema ini sebagai ganti teori Perry.
Belenky et al. (1986) menawarkan teori perkembangan sebagai alternatif teori Perry. Tahapan teori ini adalah: Silent, Received knowledge, Subjective knowledge, Procedural knowledge (termasuk connected knowing and separated knowing), dan Constructed knowledge.Tahap-tahap ini mencerminkan perkembangan individu sebagai pembuat pengetahuan, bukan fitur struktural dari sistem epistemologis dan etika.
Dari berbagai kelebihannya, teori tersebut memiliki dua kelemahan. Pertama, teori tersebut bersifat etnosentris seperti halnya teori Perry. Teori tersebut hanya berbasis pada sampel perempuan, seperti sampel pada teori Perry yang hampir secara eksklusif semuanya laki-laki. Hal ini diakui merupakan tujuan penelitian karena untuk menyeimbangkan keterpusatan laki-laki pada teori Perry. Namun demikian, itu berarti bahwa teori ini hanya bisa melengkapi dan bukan menggantikan teori Perry, karena lingkup nya hanya setengah dari keseluruhan jenis kelamin manusia. Kedua, bahwa teori tersebut tidak begitu luas, atau tidak diartikulasikan dengan pasti seperti yang dilakukan oleh Perry. Sebagai contoh. Belenky et al fokus pada aspek-aspek subjektif dalam pengetahuan dengan mengabaikan etika. Jadi teori mereka tidak menghubungkan epistemologi dan filsafat moral terhadap keyakinan pribadi sebaik Perry. Secara khusus, disatu sisi, teori Belenky tidak menyediakan hubungan yang kuat antara filsafat matematika umum dan khusus dan disisi lainnya tahapan perkembangan intelektual dan etika pribadi.
Belenky et al. menawarkan teorinya sebagai alternatif dan masukan terhadap teori Perry, dengan alasan bahwa teori Perry bersifat gender-sentris, yang berbasis pada pengamatan dari sampel utamanya mahasiswa laki-laki (di Harvard). Teori tersebut itu menyatakan bahwa pandangan moral bagi maskulin (terpisah) mendominasi teori Perry sehingga pandangan moral bagi feminin (terhubung) dihilangkan. Namun, dalam hal ini penulistidak berniat untuk menjelek-jelekan teori Perry. Kohlberg mengemukakan bahwa keadilan sebagai nilai tertinggi. Gilligan berpendapat bahwa keterhubungan manusia harus ditempatkan lebih rendah. Seseorang juga dapat berpendapat bahwa kehormatan adalah nilai tertinggi, seperti pada beberapa suku asli Amerika. Teori Perry berfokus pada bentuk dan struktur sistem kepercayaan etika dan jenis pertimbangan etika yang dipakai oleh individu memberikan kesempatan nilai-nilai khusus untuk diadopsi. Jadi baik nilai terhubung dan terpisah yang dibedakan oleh Gilligan konsisten dengan posisi Relativisme.
Salah satu inovasi Belenky et al. adalah mengaitkan perspektif moral Gilligan (1983) dengan tingkat perkembangan epistemologis. Hal ini merupakan langkah yang telah diikuti dalam posisi Relativisme. Namun, hal ini juga melampaui teori Perryyang lebih menekankan pada bentuk daripada isi kerangka ideologis, sebagaimana yang telah kita lihat. Namun, pengenalan nilai-nilai melengkapi teori Perrydan menambahkan Relativisme ke dalam ideologi tertentu. Keterkaitanantara ideologi dan tahapan kedua teratas dari model Belenky dkk juga dapat ditemui.
Meskipun terdapat beberapa alternatif bagi skema Perry, namun tidak menawarkan alternatif yang lebih baik. Terdapat teori lebih lanjut tentang perkembangan intelektual atau etika, seperti Selman (1976), tetapi teori tersebut tidak menawarkan suatu kategorisasi perspektif yang berguna.
Meskipun teori Perry lebih disukai dari teori perkembangan intelektual atau etika lainnya, ada dua hal yang perlu diwaspadai. Pertama-tama, adopsi dari teori Perry adalah merupakan asumsi kerja. Teori ini diadopsi dalam semangat pandangan pengetahuan hipotetiko-deduktif. Teori ini menyediakan sarana yang sederhana namun bermanfaat dalam hubungan antara filsafat matematika dengan sistem kepercayaan subyektif. Kedua, karena kesederhanaan, teori itu sangat mungkin dipalsukan. Teori ini berpendapat bahwa secara keseluruhan perkembangan intelektual dan etika masing-masing individu dapat diletakkan pada lingkup kecil yang sederhana. Jadi, misalnya, dua guru pelajar secara keseluruhan mungkin berada pada tahap yang sama dalam perkembangan intelektual dan etika. Namun, jika satu diantara meraka adalah seorang spesialis matematika dan yang lainnya bukan, filosofi matematika pribadi mereka mungkin dapat diidentifikasi dengan tingkatan Perry yang lainnya. (Kasus hipotetis ini konsisten dengan data di Ernest, 1939a).
Teori Piaget tentang perkembangan kognitif dalam beberapa aspek bersifat analog terhadap teori Perry. Teori tersebut menawarkan skala perkembangan linier tunggal terdiri dari sejumlah posisi tetap. Sebuah kritik kuat terhadap teori Piaget adalah bahwa aspek-aspek yang berbeda dari perkembangan individu dapat digambarkan dengan posisi yang berbeda dalam urutan perkembangan (Brown dan Desforges, 1979). Piaget mengakui adanya fenomena ini, menyebutnya dengan 'decalage', dan mencoba untuk mengasimilasikannya ke dalam teorinya. Namun hal itu merupakan menjadi kelemahan bagi teori Piaget, karena hal itu berarti bahwa keseluruhan tingkat kognitif individu tidak bisa lagi digambarkan secara unik. Keadaan analog suatu masalah dapat digambarkan dengan teori Perry, karena karakterisasi sederhana dari posisi atau tingkat perkembangan intelektual dan etis individu. Komponen yang berbeda dari perspektif individu juga mungkin ditempatkan pada tingkat yang berbeda. Terutama ketika epistemologi dari disiplin tunggal, seperti matematika, terisolasi dari posisi intelektual dan etika secara keseluruhan. Jadi meskipun teori Perry diadopsi sebagai alat yang kuat dan berguna, tetap diakui bahwa tujuan teori tersebut dapat dipalsukan, dalam hal ini sama seperti teori Piaget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar