Dialog merupakan laku penciptaan dunia oleh para
manusia yang mencintai dunia, mencintai sesama manusia dan mencintai kehidupan.
Cinta merupakan pondasi dari dialog. Cinta merupakan tanggung jawab dari
subjek-subjek yang memperjuangkan kebebasan dan tidak berada dalam relasi
dominasi. Dominasi memunculkan pathologi
cinta : sadisme terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Cinta merupakan laku pemihakan terhadap kaum tertindas
dimanapun mereka berada, tindakan dari cinta adalah komitmen terhadap prinsip
mereka prinsip pembebasan. Sebagai tindkan dari dari pemihakan terhadap kaum
tertindas, cinta tidak dapat sentimental; sebagai suatu tindakan dari
kebebasan, ia tidak dapat bertindak sebagai dalih untuk manipulasi. Cinta harus
melahirkan tindkan kebebasan orang-orang lain; jika tidak demikian, ia bukanlah
cinta. Hanya dengan mengakhiri suatu penindasan cinta yang hilanh dapat
dipulihkan. Jika aku tidak mencintai dunia, jika aku tidak mencintai kehidupan,
jika aku tidak mencintai orang-orang, aku tidak dapat terlibat dalam dialog.
Dalam proses pembelajaran, seorang guru harus membangun cinta pada semua
muridnya, cinta yang diawali dengan perasan empati. Menurut Arnold dalam
(Loreman, 2010:23) Empati telah digambarkan sebagai “kemampuan untuk memahami
pikiran dan perasaan diri dan orang lain. Ini adalah kemampuan canggih yang
melibatkan attunement (focus pada orang lain), decentering (melihta orang lain
dengan berbagai pertimbangan) dan introspeksi: tidak bijaksana, serta tulus”.
Berdasarkan pendapat Arnold dapat ditarik kesimpulan bahwa proses mendidik
harus didasarkan atas rasa cinta dan kasih saying yang diawali dari rasa empati
kepada anak didik, denga proses mendidik yang kaya akan rasa kasih sayang
diyakini akan memberikan pengaruh positif yang terus berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar